kali ini bukan catatan hati sih, tapi lebih tepatnya ini adalah tugas dari dosen Pengantar pengkajian Sastra gue. Dosen pengkajian Sastra gue ada dua loh :o yang ngasih tugas ini namanya pak Sukarjo Waluyo dan yang satunya lagi namanya Pak Redyanto Noor yang mana saat aku mempublish tulisan ini beliau baru saja menjabat menjadi dekan ;)
Analisis Hubungan antara Cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan Kondisi
Sosial Budaya dan Ilmu Bantu Sastra
Identitas Cerpen
:
Judul :
Robohnya Surau Kami
Penulis :
A.A Navis
Sinopsis :
Cerpen ini menceritakan tentang kisah hidup seorang
kakek penjaga surau di sebuah desa. Sejak dari usia muda kakek Garin, begitu ia
dikenal orang-orang telah mengurus Surau itu. Kakek yang rajin beribadah itu
hidup sebatang kara dan hidup hanya mengandalkan pemberian orang kepadanya baik
itu yang Cuma-Cuma ataupun sebagai imbalan usaha pengasahan pisau yang dilakoni
nya. Selama hidupnya dia pasrah saja kepada yang maha kuasa atas yang terjadi
padanya. Sampai akhirnya Ajo sidi datang kepadanya dan menceritakan kisah
tentang haji saleh yang ditolak untuk masuk Surga meski dia merasa dia ahli
ibadah. Kakek garin merasa tersindir dengan cerita Ajo Sidi sehingga Kakekyang
rajin beribadah itu merasa depresi dan
mengakhiri hidupnya dengan menggorok lehernya sendiri dengan Pisau Cukur.
Hubungan
Cerpen Ini dengan Kondisi Sosial Budaya yang ada di dalam Masyarakat.
1. Budaya
Masyarakat Indonesia yang Lebih suka merusak daripada merawat fasilitas Umum.
Hal ini dipaparkan dalam cuplikan cerpen berikut:
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang.
Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak
menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai
mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan
dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan
menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan
kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di
dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah
sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di
jaga lagi.
2. Kondisi
Sosial-Budaya Masyarakat yang gemar sekali membual dan mudah mempercayai bualan
orang lain. Hal ini dipaparkan dalam cuplikan cerpen berikut:
Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah
lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar
bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh
sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan
pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua
pelakupelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya
menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang
cocok dengan watak pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana
sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi
pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan
tersebut kamin sebut pimpinan katak.
3. Budaya
masyarakat Indonesia yang suka Protes dan berdemonstrasi. Hal ini dipaparkan
dalam cuplikan cerpen berikut:
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji
Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang
lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji
Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan
demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak
beramai-ramai. Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Hubungan Cerpen ini dengan Ilmu Bantu Sastra
1.
Ilmu Agama/Religi
Kesan
saya ketika pertama kali membaca cerpen ini begitu Kental dengan nilai-nilai
dalam ajaran Agama yang dikemas dalam bentuk kalimat yang terkesan menyindir
namun mampu menggugah kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Mungkin
karena dalam cerpen ini tokoh utama nya berprofesi sebagai penjaga sebuah surau
dan rajin beribadah. Seperti dalam kutipan cerpen berikut:
"Sedari muda aku
di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti
orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya,
bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah
aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang
kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi
kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca
Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku
bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku
bila aku terkejut. Masya
Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi
kini aku dikatakan manusia terkutuk."
2.
Ilmu Sosiologi
Latar
dalam cerpen ini adalah sebuah desa dengan kondisi penduduk yang ramah dan
saling tolong-menolong dalam rasa kekeluargaan yang erat menurut
pengimajinasian saya. Hal ini tersirat dalam cuplikan cerpen berikut:
Sebagai penajaga
surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan
ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id
kepadanya. Tapi sebagai garin ia
tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu
mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang
ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang
laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi
yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
3.
Ilmu Psikologi
Kakek
Garin, salah satu dari tokoh dalam cerpen ini menurut saya mempunyai jiwa yang
labil meskipun pegangan agamanya sudah kuat. Jiwa dan Batinnya begitu
bergejolak ketika Ajo Sidi menceritakan kisah tentang Haji Saleh yang kisah
hidupnya mirip denganya.
Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut
benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya.
Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk
pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus,
kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak
pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya
seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu.
Kakek
Garin juga sebenarnya marah mendengar bualan Ajo sidi. Meski dalam Cerpen ini
ia mengingkarinya dan berusaha terlihat bijak.
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang
tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku
rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik,
beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri
kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."