Ulasan Buku Pengantar Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro



a.       Ulasan Buku Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiyantoro
Pengarang                   : Burhan Nurgiyantoro
Judul Buku                  : Teori Pengkajian Fiksi
Penerbit                       : Gadjah Mada University Press
Tahun Terbit                : Cetakan ke IX (Maret 2012)
Tebal Halaman            : xiv + 346

a)      Orientasi
Buku ini banyak membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan keteorisastraan yang jumlahnya relatif banyak. Buku ini sepertinya sengaja ditulis sebagai bahan bacaan mahasiswa jurusan bahasa dan sastra. Buku ini tidak berisi tentang bagaimana caranya menulis karya yang baik atau sebagainya melainkan lebih mengkhususkan memberikan pemahaman kepada pembaca menganai teori fiksi itu sendiri.

b)      Tafsiran
Sebuah karya sastra umumnya terdiri atas dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Namun buku ini berbeda, buku ini hanya membicarakan unsur-unsur karya fiksi dan tidak secara khusus membahas tentang unsur ekstrinsiknya. Teori fiksi di sini dibahas secara tuntas dari segi pembangunnya. Hal ini menurut saya mugkin jika diberi pembahasan tentang unsur ekstrinsiknya pembahasannya akan terlampau luas sehingga bahasan mengenai teori sastra itu menjadi tidak spesifik lagi.
Buku yang terdiri dari sepuluh bab ini dibuk dengan pembahasan mengenai pengertian dan hakikat fiksi, pembedaan fiksi, dan unsur-unsur fiksi. Namun pembahasan itu masih berupa gambaran umum sehingga tidak dijelaskan secara mendetail. Di akhir bab satu penulis juga menggunakan bagan yang menurut saya cukup membantu untuk memahami peta konsep buku ini dan kemana arah pemabahasan buku ini di bab selanjutnya.
Pada bab dua dijelaskan tentang hakikat kajian fiksi, kajian struktural, kajian semiotik, kajian intertekstual, dan Dekontruksi karya fiksi. Pada bab ini penulis cukup lugas dalam memaparkan teori-teori fiksi yang dikuasainya terutama pada bagian teori semiotika dan teori dekontruksi. Bab selanjutnya sampai bab terakhir membahas tentang unsur Intrinsik Karya fiksi berupa Tema, Plot, Tokoh dan Penokohan, Latar, Sudut Pandang, dan Amanat.
Unsur  intrinsik pertama yang dibahas dalam buku ini adalah Tema. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara sengaja disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Penafsiran tema (utama) diprasyarati oleh pemahaman cerita secara keseluruhan. Pengertian tema menurut Stanton yaitu makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Tema denang demikian dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel.
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya, sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Bhkan lebih dari itu, obyek pembicaraan cerita dan plot boleh dikatakan sama: peristiwa. Membaca sebuah karya fiksi, novel maupun cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita inilah terutama yang mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang, atau sudah dibacanya.  Plot sebagai peristiwa-peristiwayang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri dari urutan waktu saja belum merupakan plot, agar menjadi suatu plot maka peristiwa-peristiwa tadi harus diolah dan disiasati secara kreatif. Sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan.
Penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas.penokohan dan pemplotan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, sebenarnya, tak ada plot. Plot merupakan suatu yang bersifat artifisial. Berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrab, simpati, empati, benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnya. Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Seperti dikatakan oleh Jones, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif mka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreatifitasnya.
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar sebuah karya fiksi barang kali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu, pijakan. Latar netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh.  Pembicaraan di atas sebenarnya telah menunjukkan betapa eratnya kaitan antara latar dan unsur-unsur fiksi yang lain. Latar sebuah karya yang sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak banyak berperanan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan.
Pengertian sekitar sudut pandang. Sudut pandang, poin point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dewasa ini betapa pentingnya sudut pandang dalam karya fiksi tak lagi diragukan orang. 
Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Penyimpangan sudut pandang bukan hanya menyangkut masalah persona pertama atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang menceritakan itu, anak-anak, dewasa, orang desa yang tak tahu apa-apa, orang modern, politikus, pelajar, atau yang lain.
Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” dari pada sekedar bahannya itu sendiri. Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa non sastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) pengucapan sastra. Namun, dalam “perbedaan”-nya itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit didefinisikan.
Stile dan Nada. Nada (tone), nada pengarang (authorial tone) dalam pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied author) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan.

c)      Evaluasi
Teori yang disajikan dalam buku ini sudah lengkap, akan tetapi saya agak sulit memahami sub-bab yang kadangkala ada di tengah-tengah materi tanpa tersusun dengan rapi.

Analisis Cerpen



A.    Identitas Cerpen
Judul Cerpen         : Bunuh Diri
Penulis                   : Kun Himalaya
Sumber                  : Cerpen Suara Merdeka edisi 24 Juni 2014

B.     Unsur Intrinsik Cerpen

1.      Tema                             :
a.       Berdasarkan jenisnya Cerpen ini masuk dalam kategori Tema Tradisional

b.      Berdasarkan tingkatannya cerpen ini bisa masuk dalam 3 kategori yaitu:
·         Tingkat organik (Hubungan dan kisah cinta antara Badrowi dan Istrinnya)
·         Tingkat sosial (Hubungan antara keluarga badrowi dan para tetangganya)
·         Tingkat egoik (pergulatan batin Badrowi)

c.       Berdasarkan keutamaannya ada dua kategori yaitu:
·         Tema Utama (Penyesalan dalam Hidup)
·         Tema tambahan yaitu (Keputusasaan, kehidupan bertetangga, Percintaan)

2.      Alur/Plot                       : Campuran

3.      Tokoh dan Penokohan :
a.       Badrowi                : Pria kebapakan, Sensitif, Cemburuan, sangat
menyayangi istrinya.

b.      Istri Badrowi         : Sensitif (mudah menangis), Penyabar, tidak setia,
Pekerja keras.

c.       Bi Markonah         : Pelayan rumah tangga di keluarga badrowi, Sabar,
Telaten dan dapat dipercaya.

d.      Rokim                    : Tetangga Badrowi, cerdas dan banyak akal.

4.      Latar/Setting                : Rumah Badrowi dan sekitarnnya

5.      Sudut Pandang             : Orang ketiga serba tahu


C.    Analisis Struktural Cerpen
1.      Abstraksi
Cerpen ini berkisah tentang seseorang yang selalu gagal dalam percobaan bunuh dirinya. Badrowi namanya, awalnya ia adalah seorang Suami dan Ayah yang baik di Keluarganya. Namun semua itu berubah ketika terjadi pertukaran peran gender antara dia dan Istrinya, hal tersebut menjadi bahan gunjingan para tetangga sehingga Badrowi tak tahan dan merasa depresi karenannya. Ia mulai nekat bunuh diri ketika anak ketiganya lahir namun ia merasa itu bukan anaknya karena bayi itu berwajah tionghoa.

2.      Orientasi
Cerpen ini berorientasi pada kehidupan rumah tangga Badrowi, Setting yang dominan dalam cerpen ini adalah rumah Badrowi dengan suasana was-was dan ppenuh kekhawatiran.

3.      Komplikasi (Penyebab Konflik)
·         Badrowi dan Keluarga pindah ke Kota Semarang Ketika Istrinya diangkat menjadi seorang PNS.
·         Kepindahannya itu terpaksa membuat badrowi harus mencari pekerjaan lagi di kota barunya meskpun di perusahaannya dulu ia sudah mendapatkan posisi yang lumayan.
·         Belum genap sebulan Badrowi bekerja sang Istri yang sangat dicintainya meminta agar ia berhenti bekerja karena mengkhawatirkan rumah dan pertumbuhan anak-anak mereka.
·         Badrowi pun berhenti bekerja ia bahkan dijuluki sebagi bapak teladan karena mampu mengurus urusan rumah tangga dengan baik dan mampu mengasuh kedua anaknya.
·         Kebahagiaan badrowi merasa terusik ketika cinta istrinya dirasa tak sama dengan yang dulu lagi dan Ia mulai mendengar bisik-bisik tetangga bermuka dua yang menyebut ia Banci dan hanya hidup dari keringat istrinya.
·         Ketika istrinya melahirkan bayi berwajah tionghoa, semakin limbung dan putus asa lah hidupnya karena ia merasa bayi yang dilahirkan Istrinya itu bukan anaknya.

4.      Evaluasi/Konflik
Badrowi selalu mencoba bunuh diri. Dia pernah mencoba gantung diri tapi dahan pohon tempat ia bergantung patah.  Dia juga pernah menenggak Baygon, tapi syukur istrinya mengetahui aksinya sehingga badrowi langsung di bawa ke Rumah sakit. Puncaknya ia berencana lari dari pengawasan keluarga, bi markonah dan rokim agar dapat bunuh diri dengan cara loncat dari pohon di dekat rumahnya. Namun saat hendak mengelabuhi para pengawasnya itulah ia malah terpeleset di kamar mandi, kepalanya berdarah, padahal ia sama sekali tak berniat mati dengan cara itu, Kecoa yang ada di Kamar mandi dan Darah adalah sesuatu yang sangat dibencinya.

5.      Resolusi/Penyelesaian
Insiden terpelesetnya Badrowi di Kamar mandi sedikit membuka mata hati badrowi sehingga ia bisa melihat kasih sayang istrinya yang begitu tulus. Ia selamat dari maut namun setelah kejadian itu separuh badannya menjadi lumpuh, ia merasa dalam keadaan tak hidup namun juga tak mati. Ia menyesal selama ini telah bertindak bodoh dan tak menghiraukan istrinya yang menangis dan meminta maaf di hadapannya. Dalam hati kecilnya ia ingin sekali meminta maaf dan memaafkan istrinya namun sayang ia sudah tidak bisa bicara lagi. Pada akhirnya dia pun sadar tuhan lebih berkuasa atas takdir hidupnya.

6.      Koda/Amanat
Jangan mudah terjebak Amarah sehingga merasa mampu menggenggam takdir.


BUNUH DIRI
Cerpen Suara Merdeka, 24 Juni 2012 – oleh Kun Himalaya
Toto 2012 / Suara Merdeka
Badrowi hendak bunuh diri. Sudah berkali-kali dicobanya. Sekali, hendak diputusnya kontrak kehidupan pada seutas tali. Sayangnya, dahan yang disangkanya liat tak kuasa menahan tubuhnya. Dahan itu patah menjadi dua. Lain waktu Badrowi meminum baygon. Ketika cairan mematikan itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya histeris dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya menelepon Rumah Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir ambulans yang gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai di leher.
Sayang seribu sayang, Dokter terbaik di Rumah Sakit itu belum pulang meski malam telah larut. Dokter yang berdedikasi itu sekuat tenaga bernegosiasi dengan Malaikat Izrail memperebutkan nyawa Badrowi. Dokter itu berhasil. Badrowi muntah-muntah. Semua cairan mematikan itu keluar sudah.
Badrowi harus menerima kenyataan bahwa usahanya belum membuahkan hasil. Badrowi mulai percaya nyawanya rangkap tujuh layaknya kucing. Nahasnya, Badrowi jeri melihat darah yang mengucur. Apalagi bila darah itu keluar dari tubuhnya. Badrowi takut. Maka, tak heran, usaha yang melibatkan benda tajam yang nyata bisa membuat darahnya mengucur, amat sangat dihindari oleh Badrowi.
Akhir-akhir ini Badrowi sibuk. Menonton berita kriminal di televisi dan membaca koran menjadi jadwal rutin. Bukankah selalu ada berita tentang kehidupan yang berakhir di tayangan televisi dan lembar koran? Badrowi butuh inspirasi. Badrowi menghitung dalam hati: berapa kali sudah dicobanya usaha ini? Badrowi menentramkan hati dan tidak berputus asa. Setidaknya, jika benar keajaiban nyawa rangkap tujuh itu menempel padanya, Badrowi tinggal mencoba sekali lagi!
Tapi itu kian sulit. Sungguh! Sekarang ini, setiap orang siaga. Istrinya, anak-anaknya, kerabat istrinya yang bernama Bi Markonah itu, bahkan para tetangganya. Semuanya waspada. Istrinya sudah tak mengizinkannya mengendarai sepeda motor. Kuncinya sengaja disimpan rapat-rapat dan tak seorang pun yang mau memberitahu di mana kunci itu disimpan. Bagi Badrowi itu memang masuk akal dan bisa dimengerti. Jalanan di Indonesia lebih kusut daripada benang basah yang ruwet. Semahir apa pun pemakai jalan di Indonesia, sangat mudah tertimpa kecelakaan. Kalau tidak menabrak ya ditabrak….
Yang membuat Badrowi jengkel, orang-orang tidak memberinya kesempatan untuk menyendiri. Begitu Badrowi masuk ke kamar mandi, keluarganya langsung heboh. Bila dalam waktu lima menit Badrowi tidak keluar dari kamar mandi, mereka menggedor-gedor pintu. Bi Markonah mengancam akan mendobrak pintu kalau pintunya tidak segera dibuka. Semakin lama mereka seperti mata-mata!
Cih! Tahu apa mereka? Badrowi memang ingin mati. Tapi, mati di kamar mandi? Itu sungguh bukan pilihan bagi Badrowi. Kamar mandi itu tempat tinggal kecoak dan Badrowi benci sekali binatang bernama kecoak.
Badrowi menyadari bahwa kini dia mempunyai dua tantangan yaitu berusaha melepaskan diri dari intaian mata-mata, dan terus mancari cara untuk memecat nyawanya agar tak lagi menghuni raga. Badrowi memutuskan untuk menjadi lebih kreatif. Untuk itu, Badrowi memasukkan menu menonton sinetron! Banyak sekali tips dan intrik yang bisa Badrowi temukan dalam tayangan sinetron.
***
HARI masih pagi. Seperti biasa, rumah itu tampak sibuk. Anaknya yang pertama berteriak-teriak mencari kaus kaki, sebentar kemudian suaranya bungkam dan terdengar raungan GL-Pro menjauh. Terdengar suara Bi Markonah menyuruh anak kedua dan ketiganya sarapan. Istrinya, telah rapi dengan baju PNS, masuk ke kamar dan meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.
“Dokter Munawir akan datang menengok sampean, nanti jam 9,” kata istrinya pelan.
“Cih! Psikiater sok tahu itu? Yang menyangka aku sakit jiwa?! Yang merasa sudah mampu mengorek kebenaran dariku? Ahoi jauh panggang dari api. Uang saja yang dikejarnya!” umpat Badrowi dalam hati. Badrowi melarikan pandang keluar jendela. Badrowi enggan menatap istrinya.
“Aku berangkat dulu, ya…,” pamit istrinya sambil mencium punggung tangannya sekilas.”Jangan lupa nasi gorengnya dimakan….”
Badrowi acuh. Istrinya berlalu dan menutup pintu pelan. Begitu Supra Fit istrinya menjauhi garasi bersama celoteh riang anak kedua dan ketiga, Badrowi beringsut ke jendela. “Yah, batu itu masih di sana. Tangga itu juga masih berada di tempatnya,” batin Badrowi sambil tersenyum puas. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana! Badrowi akan meluncur bebas dari atas pohon dan membenturkan diri ke atas batu. Itu rencana hebat!
Badrowi melirik arloji yang tergeletak di atas meja. Pukul tujuh lima belas menit. Buru-buru Badrowi duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya sepiring nasi goreng yang sedari tadi menghuni meja. Badrowi bersikap sebiasa mungkin. Jangan membuat curiga! Sebentar lagi, pasti Bi Minah akan membuka pintu untuk melihat keadaannya. Tidak menghabiskan sarapan, akan menjadi masalah besar. Nah, benar saja! Pintu kamar terkuak tanpa permisi. Wajah Bi Markonah yang tampak selalu sedih seperti buldog itu melongok ke dalam kamar. Sedetik. Kemudian terdengar langkahnya menjauh. Bi Markonah memang tak terlalu suka bicara pada Badrowi. Begitu juga sebaliknya. Bi Markonah menganggap Badrowi itu sinting.
Badrowi bersiul-siul. Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali. Bi Markonah akan pergi berbelanja ke pasar. Biasanya Bi Markonah pergi selama satu jam. Dan selama wanita itu pergi, Rokim, anak tetangga sebelah yang akan memata-matainya. Badrowi menyibak korden kamar untuk melihat keluar. Dari ambang jendela, Badrowi melihat Bi Markonah tengah berbicara kepada Rokim. Bi Markonah menyerahkan selembar uang ke tangan Rokim yang langsung disambut gembira. Rokim berlari riang menuju ke pintu rumah. Tuh, kan?
Terdengar pintu dibuka dari luar.
Badrowi segera menyambutnya. “Kamu sebaiknya nonton tv saja. Hari ini aku akan berbaring di kamar….” usul Badrowi sambil mengulurkan remote ke tangan Rokim.
Rokim kikuk. Dengan wajah takut-takut Rokim bertanya, “Maaf, Pak. Sebelum saya menonton televisi seperti yang Bapak suruh, bolehkah saya masuk ke kamar Bapak terlebih dahulu?”
“Untuk apa?!” bentak Badrowi tidak suka.
“Mm… mencari mainan saya, Pak. Sepertinya tertinggal di kamar Bapak kemarin…,” Rokim berkata pelan dan sedikit gemetar. Rokim takut Badrowi akan menyakitinya. Bagaimanapun, Badrowi tega menyakiti dirinya sendiri. Bukankah besar kemungkinan Badrowi juga setega itu pada orang lain?
“Baiklah. Tapi jangan lama-lama!” Badrowi bersungut-sungut. Hatinya sungguh tak senang.
Dengan takut-takut Rokim masuk ke kamar Badrowi. Rokim memeriksa tiap sudut kamar, di bawah tempat tidur, bawah meja dan almari, di bawah kasur. Semuanya. Tentu saja tidak ada mainan yang dicarinya. Rokim mencari botol, gelas kaca, pisau atau benda apa saja yang sekiranya diselundupkan Badrowi untuk melancarkan aksinya. Rokim tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Rokim tersenyum puas sambil melangkah keluar kamar.
“Lho, mana mainanmu?” bentak Badrowi.
Rokim plintat plintut. “Oh, saya baru ingat kalau mainan saya dipinjam teman….”
“Huh, dasar lidah manusia!” umpat Badrowi sambil masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
Badrowi mengintip melalui lubang kunci. Aman. Rokim pergi ke kamar mandi. Hanya sebentar, setelah itu Rokim asyik menonton televisi. Badrowi hendak menyelinap keluar lewat jendela. Tapi…oh…Badrowi merasa ingin buang air kecil. “Ah… tak mengapa, ini kan buang air kecil yang terakhir…,” hibur Badrowi dalam hati.
Ketika Badrowi lewat, Rokim waspada. Rokim melirik jam dinding untuk memastikan Badrowi tidak terlalu lama di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka. Badrowi segera melangkah masuk, tak disadarinya busa sabun tersebar di lantai. Badrowi terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Aaaaaahhh!!!!” Kepala Badrowi terbentur pinggiran bak. Darah mengucur. Badrowi jatuh terjerembab. Tubuhnya terlentang di lantai kamar mandi. Badrowi berusaha menggerakkan kepala, dan terlihat olehnya beberapa ekor kecoak berlari menjauh. Lantai kamar mandi memerah darah, membawa Badrowi ke rasa sakit yang menggila hingga gelap menghimpit!
***
AWALNYA, hidup Badrowi sempurna. Istrinya cantik dan sudah diangkat menjadi PNS. Istrinya seorang guru di sebuah SMP Negeri. Ketika SK turun dan mengharuskan istrinya pindah ke Kota Semarang, Badrowi rela meninggalkan pekerjaannya. Padahal saat itu posisi Badrowi di perusahaan itu sudah terbilang lumayan. Ketika itu, anak pertama mereka baru berusia tiga tahun. Di kota baru, Badrowi mencari pekerjaan. Namun, belum genap sebulan Badrowi bekerja, didapatinya sang istri menangis. “Pak, janganlah bekerja dulu. Rumah dan anak-anak telantar kalau kita berdua bekerja. Biarlah kita hidup dari gajiku dulu,” bujuk istrinya.
Badrowi amat menyayangi istrinya. Apalagi istrinya tengah mengandung anak kedua. Badrowi tak sanggup menolak keinginan sang istri. Maka, Badrowi mengalah dan tinggal di rumah. Badrowi belajar memasak, mencuci, membereskan rumah, dan mengurus anak. Ketika anak kedua lahir, Badrowi telah mahir. Segera saja, predikat Bapak Teladan melekat padanya. Para tetangga yang menjulukinya. Tapi Badrowi tahu pasti tabiat tetangganya. Di depan wajahnya orang-orang itu memuji, di belakang punggungnya, mereka menyebut Badrowi banci.
Badrowi mulai terusik. Dia merasa menjadi lelaki yang tidak sempurna. Lelaki yang bukan lelaki. Lelaki yang tak sanggup menafkahi istri. Lelaki yang seperti benalu, menggantungkan hidup dari gaji istri. Di dalam rumahnya tidak ada ibu rumah tangga, yang ada adalah dirinya, bapak rumah tangga!
Hidup Badrowi mulai limbung. Dan hidupnya hancur ketika didapatinya istrinya berubah. Cinta istrinya tak lagi utuh. Tak lama berselang, istrinya hamil lagi. Badrowi tak punya bukti, tapi Badrowi tahu kalau itu bukan benihnya. Akhirnya bayi mungil berwajah Tionghoa itu lahir. Sejak itulah, Badrowi kehilangan semangat hidup dan memvonis dirinya untuk mati!
***
BADROWI merasa tubuhnya seringan kapas. Sebentar kemudian, rasa berat seperti sebongkah batu menghimpit kakinya, terus naik ke perut dan menghimpit ulu hati. Kepalanya berdenyut hendak meledak. Napasnya panas. Sesuatu ditangkupkan menutup hidung dan mulutnya. Sejenak rasa sejuk menerpa, tapi panas gurun dalam sekejap datang kembali.
Badrowi ingin sekali membuka mata, tapi seolah ada baja yang mengganjal matanya. Bulir-bulir dingin menyusup pori-pori. Seleret cahaya putih berkelebatan.
“Dia sadar… dia sadar… lihat! Matanya sedikit terbuka…,” seorang suster tak sadar berteriak.
“Pak… Pak… ini aku! Pak… sadar….” Itu suara istri Badrowi.
“Ini kuasa Tuhan. Beliau telah empat minggu mengalami koma, tapi mampu bertahan…,” timpal Dokter yang tergopoh datang.
Di samping tempat tidur rumah sakit, istri Badrowi menangis tersedu-sedu.
Badrowi mengerjap. Pelan, air matanya mengalir. Semua yang terjadi ini, sungguh di luar rencana Badrowi. Badrowi memang ingin mati. Tapi Badrowi sama sekali ingin melakukan usaha untuk mati di kamar mandi. Badrowi memang ingin mati. Tapi, bukannya setengah mati seperti ini!
Badrowi merasa menjadi pesakitan. Hidupnya mengambang di antara hidup dan mati. Tubuh Badrowi lumpuh seluruhnya, hanya matanya saja yang bisa digerakkan. Itu pun hanya membuka, menutup dan melirik. Hidup Badrowi sepenuhnya bergantung pada peralatan medis.
“Pak… maafkan aku, Pak…,” tangis istrinya pelan.
Dulu, Badrowi hanya membisu bila istrinya berucap seperti itu. Badrowi mengunci hati. Kata maaf di penjaranya rapat-rapat di dalam amarah. Dijaganya jangan sampai keluar dari mulutnya. Kini Badrowi ingin menjawab, namun lidahnya seolah terikat. Badrowi ingin mengatakan kalau hatinya telah memaafkan! Tapi… Badrowi tak mampu bicara.
Dalam keterasingannya dari dirinya sendiri, Badrowi terpaksa mengakui bahwa kuasa Tuhan lebih berhasil daripada rencananya. Hatinya menyalahkannya kenapa dulu tak memaafkan saja ketika istrinya berkali-kali minta maaf. Dulu hatinya beku ketika istrinya berkali-kali menangis sambil bersimpuh di kakinya. Kini, keadaan menjadi terbalik. Hati Badrowi telah lunak, tetapi tubuh dan lidahnya yang kaku. Sekarang, jika nasi telah menjadi bubur seperti ini, semuanya berduka. Dan hanya setan yang tertawa terpingkal-pingkal. Menyaksikan kebodohan manusia mudah terjebak amarah dan merasa mampu menggenggam takdir.
Kun Himalaya adalah nama pena Tri Kundarni, ibu rumah tangga kelahiran Semarang, 3 Juni 1982, tinggal di Wonolopo Mijen, Semarang.