catatan tentang anakronisme

Catatan Tentang Anakronisme

Anakronisme menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (Perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu yang dimaksud adalah waktu yang berlaku dan ditunjuk dalam cerita, waktu cerita, dengan waktu yang menjadi acuannya yang berupa waktu dalam realitas sejarah. Anakronisme juga menunjuk pada pengertian yang lebih luas namun masih dalam hubungannya dengan kekacauan penggunaan waktu, yaitu pada sesuatu yang tak masuk akal.
Ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah biasanya berupa penggunaan dua waktu yang berbeda masa berlakunya dalam satu waktu pada sebuah karya fiksi. Penyebab anakronisme mungkin berupa masuknya “waktu lampau” ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya masuknya “waktu kini” kedalam cerita berlatar waktu lampau. Unsur waktu yang dimaksud dapat berupa apa pun, misalnya situasi dan keadaan pada suatu tempat, budaya, benda-benda tertentu, nama, bahkan juga bahasa yang hanya dimiliki (atau telah dimiliki) oleh waktu tertentu, bukan dalam waktu yang lain.
Contoh dari anakronisme antara lain ada pada karya fiksi berjudul Tambera, karya fiksi tersebut berlatar waktu pada awal abad ke-16 yang menceritakan peperangan antara Belanda dengan penduduk Maluku. Tentara Belanda menggunakan bedil dan meriam, padahal pada waktu itu senjata modern semacam itu belum ditemukan di dunia. Anakronisme juga menyaran pada sesuatu yang tak logis, misalnya berupa seseorang yang semsetinya tak memiliki benda atau kesanggupan tertentu. Contohnya ada pada tokoh Aminudin dalam novel Azab dan Sengsara, ia masih berusia sebelas tahun namun cara bicaranya sungguh bijak dan penuh falsafah.
Meski anakronisme sering dipandang sebagai wujud dari kekurangtelitian pengarang namun anakronisme ada pula yang disengajakan oleh pengarangnya untuk menjembatani imajinasi pembaca dengan cerita bersangkutan. Contoh anakronisme jenis ini bisa dijumpai dalam Kaba Siti Nurlela dan Kaba Sutan Jainun kedua kaba tersebut berlatar waktu sebelum Perang Dunia II, namun kedua tokoh perempuan yang ada pada Kaba tersebut yaitu Rubaini dan Rasyidah telah mengenyam pendidikan Sekolah Kepandaian Putri (SKP), padahal SKP baru dikenal di Indonesia pada tahun 50-an. Ungkapan anakronisme tersebut dimaksud agar pembaca mengerti betapa tingginya tingkat pendidikan kedua perempuan itu di masa lampau daripada perempuan-perempuan lainnya.

Anakronisme juga sering dijumpai dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa. Wayang secara ketat memang harus tunduk pada pakem yang telah ditetapkan yang tentunya berlaku untuk waktu pada saat diciptakan. Namun dalam pertunjukan itu sering dimasukkan berbagai hal yang bersifat anakronistis, sesuatu yangberasal dari budaya masa kini, khususnya dalam adegan goro-goro atau yang menyertakan tokoh punakawan. Tokoh Punakawan seringkali menyinggung tentang  masalah pembangunan, Ekonomi, Sosial, Pendidikan dan Budaya pada masa kini. Hal ini juga menunjukan bahwa wayang adalah salah satu media penerangan masyarakat terbaharui dan tidak pernah ketinggalan zaman.