Analisis Semiotika



Halaman Judul

Analisis Semiotika Kebudayaan Ngunggahke Molo
Dalam ritual Pembangunan Rumah Baru di Pekalongan


Disusun Oleh:
Asa Fiqhia
13010114120051
Kelas B


Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi
Universitas Diponegoro
Fakultas Ilmu Budaya



Abstraksi

Ngunggahke Molo merupakan Upacara Pemasangan Wuwungan/Blandar pada konstruksi kuda-kuda atap rumah yang baru dibangun. Ngunggahke Molo merupakan Tradisi yang sudah umum dalam masyarakat jawa. Di daerah lain Ngunggahke Molo disebut juga dengan Munggah Molo, Munggah Wuwungan, Munggah Gendeng, sedangkan dalam bahasa Indonesia Munggah Molo disebut dengan Naik Molo. Setiap nilai dan norma yang ada dalam kebudayaan jawa pasti memiliki makna  filosofis yang mendalam. Banyak nilai dalam tradisi Ngunggahke Molo yang hingga kini masih menjadi Mitos, Tentunya mitos-mitos tersebut tidak realistis dan sangat tidak relevan pada era modern seperti sekarang. Dengan mengesampingkan ketidakrealistisan dan ketidakrelevanan semua mitos-mitos itu masyarakat Pekalongan melaksanakan upacara ngunggahke molo dengan dalih syukuran dan upacara pengharapan keselamatan kepada yang maha kuasa. Makna tersebut dapat kita ketahui dengan menganalis melalui tanda-tandanya dengan ilmu semiotika. Rolan Barthes adalah salah satu tokoh semiotika yang pernah menelaah lebih lanjut tentang Mitologi Kebudayaan.


Kata Pengantar


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

    Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

    Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.




Semarang, 7 Mei 2016


Penyusun


Daftar Isi




BAB I Pendahuluan

Pendahuluan

A.    Latar Belakang Masalah

Menurut sensus penduduk tahun 2010 orang jawa menduduki peringkat pertama dalam urusan populasi dan penyebaran penduduk di Indonesia. Sekitar 41% dari jumlah penduduk di Indonesia adalah orang jawa, itu berati hampir separuh warga negara Indonesia adalah orang jawa. Masyarakat Jawa yang menduduki posisi mayoritas secara tidak langsung membuat Kebudayaan Jawa tersebar ke berbagai daerah. Kebudayaan jawa merupakan salah satu kebudayaan di indonesia yang masih banyak dilestarikan masyarakat di era modern ini. Kebudayaan jawa sangat kompleks dan beraneka macam jenisnya. Setiap nilai dan norma yang diajarkan dalam kebudayaan jawa pasti memiliki filosofi dan makna yang mendalam.
Dalam kebudayaan jawa ada upacara atau tradisi tersendiri untuk memperingati tiap fase kehidupan seseorang. Dalam Kebudayaan Jawa ada saat dimana seseorang sudah mampu mendirikan rumah sendiri. Bahkan dalam urusan mendirikan rumahpun terdapat tata cara atau adat yang mengatur tentang tahapan pembangunannya dengan tujuan memperoleh keselamatan dan keberkahan dari sang pencipta.
Disini penulis akan membahas tentang tradisi Ngunggahke Molo dari Pekalongan. Ngunggahke Molo di daerah lain mungkin lebih dikenal dengan sebutan Munggah Molo atau Munggah Wuwungan, ataupun Munggah Gendeng sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Naik Molo.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang Dimaksud dengan Ngunggahke Molo?
2.      Bagaimana tatacara pelaksanaan upacara Ngunggahke Molo?
3.      Apa Makna yang terkandung dalam tiap nilai pada upacara Ngunggahke Molo?

C.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
a.       Untuk lebih mengenal tentang kebudayaan dan tradisi daerah
b.      Untuk lebih memahami tentang Ilmu Semiotika
c.       Untuk mendalami teori semiotika menurut Rolan Barthes
d.      Untuk belajar menganalisis kebudayaan melalui ilmu semiotika
e.       Untuk mengetahui makna dibalik tanda dalam kebudayaan Ngunggahke Molo di Pekalongan

D.    Manfaat Penulisan

a.       Mengenal tentang kebudayaan dan tradisi daerah
b.      Memahami tentang Ilmu Semiotika
c.       Mendalami teori semiotika menurut Rolan Barthes
d.      Mampu menganalisis kebudayaan melalui ilmu semiotika
e.       mengetahui makna dibalik tanda dalam kebudayaan Ngunggahke Molo di Pekalongan

BAB II Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka

A.    Teori Struktural Roland Barthes

Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan muncul dengan teori mengenai konotasi. Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression (bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja hijau memang berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first order. Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja hijau mengemban makna “persidangan”.  Lapis kedua ini yang disebut konotasi.

B.     Teori Semiotika Menurut Levi Strauss

Claude Levi-Strauss adalah seorang strukturalis yang mengkhususkan dalam teori budaya. Pemikirannya menurut pengakuannya dalam Tristes Tropiques merupakan sebuah hasil perkembangan dari pengaruh Marx, Freud dan Geologi. Ketiga cabang itu menurutnya sepaham dengan aliran strukturalisme.
Marx mengembangkan pemikiran yang mereduksi kompleksitas kehidupan politik dan ekonomi masyarakat ke dalam hubungan sosial antara tiga struktur, yaitu kepemilikan alat produksi, modal, dan struktur & kepentingan kelas. Freud menerangkan fenomena pasien jiwa, dan menemukan mekanisme berupa hubungan antara proses kejiwaan, yaitu transference, denial, wish fulfilment, dan represi dengan dimensi jiwa, yaitu id, ego dan superego. Sementara itu, Geologi merupakan studi lanskap, yang menemukan pola-pola dan kausalitas dalam alam sehingga sangat berguna untuk memprediksi peristiwa-peristiwa tertentu.
Selain 3 hal itu, Levi mengakui pengaruh yang dalam dari Saussure, dan mengajukan sikap penelitian untuk lebih mendalami struktur mitologi sehingga menemukan logika tertentu dalam suatu sistem budaya. Di samping Saussure, Levi juga merupakan pendukung Durkheim, dan sama-sama meyakini bahwa masyarakat merupakan lapangan dari yang abstrak, mental dan ideal. Ada kesamaan antara ritual (Durkheim) dan mitos (Levi) sebagai ketidaksadaran kolektif.


BAB III Metode Penelitian

Metode Penelitian

A.    Metode Study Pustaka

Studi pustaka merupakan langkah awal dalam metode pengumpulan data. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, foto-foto, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat mendukung dalam proses penulisan.”Hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila didukung foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada.”(Sugiyono,2005:83). Studi pustaka merupakan Maka dapat dikatakan bahwa studi pustaka dapat memengaruhi kredibilitas hasil penelitian yang dilakukan.

B.     Metode Wawancara

Wawancara merupakan langkah yang diambil selanjutnya setelah observasi dilakukan. Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data dengan cara bertatap muka secara langsung antara pewawancara dengan informan. Wawancara dilakukan jika data yang diperoleh melalui observasi kurang mendalam. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan (Sugiyono,2005:72) bahwa “wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peniliti ingin mengetahui hal-hal dariinforman yang lebih mendalam.”
Dalam penulisan Makalah ini penyusun menunjuk Bapak Khumaidi selaku ketua adat di Desa Proto Timur, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan.



BAB IV Pembahasan

Pembahasan

A.    Sejarah Upacara Ngunggahke Molo

Sejarah ngunggahke molo di Pekalongan belum diketahui secara pasti, akan tetapi tradisi ngunggahke molo merupakan hal yang lumrah dalam Masyarakat Jawa. Tatacara pelaksanaan dan penyajian ubo rampe Ngunggahke Molo berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lainnnya, bahkan dari segi penamaan namanya saja berbeda. Ngunggahke Molo di daerah lain dikenal juga dengan sebutan Munggah Molo,  Munggah Wuwungan, Pasang Blandar, dan Munggah gendeng.
Upacara Ngunggahke Molo juga ada di dalam kebudayaan asing, Kebudayaan Islam dan Cina juga mengenal adanya tradisi ngungggahke molo. Oleh karena tradisi munggah molo sudah sangat lazim dilakukan, banyak juga terjadi pergeseran nilai, akulturasi budaya, dan asimilasi budaya. Di Pekalongan Prosesi pembacaan mantra-mantra sebelum Blandar dipasang diganti dengan pembacaan doa-doa dari ayat-ayat suci alqur’an. Sedangkan letak Blandar kadang disesuaikan sesuai aturan feng-shui cina.

B.     Analisis Semiotika Upacara Ngunggahke Molo dengan Pendekatan Struktural

Bagi masyarakat Jawa pada umumnya, simbolisasi atau perlambang dalam sistem tata kehidupan manusia seperti sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Seperti halnya tentang rumah, dalam konsep pemikiran masyarakat Jawa, rumah adalah model alam mikrokosmos. Simbol dari miniatur alam jagad raya yang di dalamnya terpancar tentang adanya kekuatan supranatural yang sulit untuk dijelaskan dengan logika.
Membangun rumah adalah ibarat membangun sebuah alam raya dimana penghuninya akan hidup dan menjalankan misi hidupnya. Maka, membangun rumah seringkali disertai dengan penghayatan dan menghidupkan kembali tradisi untuk membangunkan nilai-nilai spiritual. Tak terkecuali acara munggah molo, yaitu menaikkan atau memasang bagian rumah yang paling tinggi, sebagai simbolisasi puncak jagad raya.
Dengan demikian, tahap menaikkan molo sebuah rumah tinggal biasanya didahului dengan acara selamatan. Bahkan malam sebelumnya diadakan melekan atau lek-lekan yang maksudnya tidak tidur malam, meletakkan sesaji dan memilih hari baik. Masih ada lagi, pemancangan paku emas di bagian puncak rumah yaitu di bagian blandar di bawah wuwungan.
Rangkaian acaranya adalah selamatan dan doa bersama di malam hari sebelum prosesi ngunggahke molo, dengan mengundang para tonggo teparo (tetangga sekitar rumah), termasuk para tukang, serta mengundang seorang ustadz warga kampung di lingkungan rumah yang akan dibangun. Sebelum doa, para tukang memasang bendera merah-putih berukuran sedang yang dibungkuskan di bagian tengah blandar. Lalu masih ada sesisir pisang ambon, seonggok padi yang sudah menguning dan seikat tebu, yang kesemuanya juga diikat dan digantungkan pada blandar. Pendeknya, blandar-nya dihias dengan ubo rampe tersebut, lalu dinaikkan dan dipasang pada posisinya, pada ketinggian kira-kira 13, 5 meter di atas muka tanah.
Di dalam tradisi munggah molo terdapat beberapa leksikon dan simbol diantaranya sebagai berikut:
a.       Kata Munggah dalam bahasa jawa berati Naik,  Munggah menyimbolkan peningkatan kualitas hidup seseorang
b.      Kata Molo dalam bahasa jawa berati mengepala, Kepala merupakan organ yang sangat penting bagi manusia. Tanpa Kepala manusia tidak akan bisa hidup. Demikian pula Molo rumah, tanpa molo rumah tidak akan berfungsi optimal untuk melindungi penghuninya dari panas dan hujan.
c.       Kayu yang digunakan untuk blandar biasanya berasal dari pohon salam atau pohon glugu (Kelapa). Menggunakan kayu salam supaya rumah dipenuhi keselamatan sedangkan jika menggunakan kayu glugu bermakna agar dipenuhi kebahagiaan.
d.      Padi adalah makanan pokok orang Indonesia. Adanya padi menyimbolkan kesejahteraan dan kemakmuran.
e.       Bengking/stagen biasanya dijulurkan dari bawah molo ke dalam baskom berisi air yang diletakkan di lantai rumah. Makna simboliknya agar rumah yang dibangun awet dan berumur panjang.
f.       Samudra yang teramat luas disimbolkan dengan baskom berisi air. Makna simboliknya ialah agar pemilik rumah senantiasa diberi kesabaran seluas samudra.
g.      Sego golong yang disajikan masyarakat Pekalongan biasanya berupa nasi megono. Megono merupakan makanan khas pekalongan yang terbuat dari nangka muda yang dicincang halus kemudian dibumbui dengan rempah dan parutan kelapa. Megono merupakan akronim dari Mergo Onone (Cuma ini adanya), penyajian sego megono ini bukan berati menandakan si pemilik rumah pelit, akan tetapi makna yang terkandung sebenarnya adalah agar pemilik rumah senantiasa hidup sederhana dan merakyat.
h.      Para tetangga yang ikut hadir biasanya memasukkan uang recehan ke dalam bendera merah putih yang dibentuk seperti kantung. Makna dari hal ini ialah adanya rasa empati dan sikap gotong-royong dari para tetangga.
i.        Gedang sepat tidaklah memiliki rasa yang sepat seperti namanya, makna dari adanya gedang sepat ialah kita harus berani menjalani kehidupan yang katanya prihatin  (sepet) karena dengan menjalaninya kita akan tahu bahwa hidup juga memiliki sisi manis.
j.         Adonan Awuk-awuk terbuat dari tepung ketan yang direbus. Biasanya awuk-awuk dibungkus dengan daun pisang. Warna awuk-awuk yang putih melambangkan kesucian dan kebersihan. Isi awuk-awuk yang terbuat  dari parutan kelapa dan gula merah memiliki cita rasa manis melambangkan rezeki dan kebahagiaan. Harapan dengan disajikannya awuk-awuk ini adalah pemilik rumah nantinya dapat senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian rumahnya agar dapat melancarkan rejeki dan merasakan manisnya hidup.
k.      Bendera Merah Putih di jahit menyerupai kantung lalu diikat menjadi kain molo. Makna dari bendera merah putih ini adalah untuk menunjukan rasa cinta terhadap tanah air Indonesia. Di dalam kantung molo ini akan dimasukkan koin recehan, Jamu-jamunan, Kembang tujuh rupa, dan Boreh.
l.        Jamu-jamunan melambangkan kesehatan jasmani
m.    Kembang Tujuh rupa melambangkan nama baik
n.      Boreh/ Lulur melambangkan pikiran yang dingin atau terbuka dan tenang
o.      Kelapa dipasang di atas molo melambangkan orang yang bisa memberi manfaat
p.      Payung di pasang dengan posisi terbuka melambangkan pelindung dari segala bahaya


    BAB V Penutup

Penutup

A.    Kesimpulan

1.      Ngunggahke Molo merupakan salah satu kebudayaan Jawa yang berkembang di Pekalongan
2.      Di Pekalongan Ngunggahke Molo mengalami silang budaya dengan kebudayaan Cina dan Islam
3.      Ngunggahke Molo Mengalami pergeseran/degradasi nilai pada zaman sekarang
4.      Setiap Nilai dalam prosesi ngunggahke molo memiliki makna filosofis tentang pengharapan hidup yang lebih baik
5.      Selain sebagai prosesi syukuran dan selamatan Ngunggahke molo juga bisa menjadi ajang untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.

B.     Saran

1.      Penyusun menemukan bahwa kajian tentang Kebudayaan Ngunggahke Molo ini dapat juga diteliti lebih lanjut dengan ilmu sosiologi.
2.      Pengetahuan tentang Leksikologi terutama leksikon bahasa Jawa sangat diperlukan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam prosesi Ngunggahke Molo
3.      Pengetahuan tentang sejarah juga diperlukan karena sampai sekarang tradisi ngunggahke molo belum jelas asal-usulnya.


Daftar Pustaka

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Ula, M. 2010. Tradisi Munggah Molo dalam Perspektif Antropologi Linguistik.    Jurnal Penelitian, Vol 7, No 2.