A.
Identitas Cerpen
Judul
Cerpen : Bunuh Diri
Penulis : Kun Himalaya
Sumber :
Cerpen Suara Merdeka edisi 24 Juni 2014
B.
Unsur Intrinsik
Cerpen
1.
Tema :
a.
Berdasarkan
jenisnya Cerpen ini masuk dalam kategori Tema Tradisional
b.
Berdasarkan
tingkatannya cerpen ini bisa masuk dalam 3 kategori yaitu:
·
Tingkat
organik (Hubungan dan kisah cinta antara Badrowi dan Istrinnya)
·
Tingkat
sosial (Hubungan antara keluarga badrowi dan para tetangganya)
·
Tingkat
egoik (pergulatan batin Badrowi)
c.
Berdasarkan
keutamaannya ada dua kategori yaitu:
·
Tema
Utama (Penyesalan dalam Hidup)
·
Tema
tambahan yaitu (Keputusasaan, kehidupan bertetangga, Percintaan)
2.
Alur/Plot :
Campuran
3.
Tokoh
dan Penokohan :
a.
Badrowi : Pria kebapakan, Sensitif,
Cemburuan, sangat
menyayangi
istrinya.
b.
Istri
Badrowi : Sensitif (mudah menangis),
Penyabar, tidak setia,
Pekerja keras.
c.
Bi
Markonah : Pelayan rumah tangga di
keluarga badrowi, Sabar,
Telaten dan
dapat dipercaya.
d.
Rokim : Tetangga Badrowi, cerdas
dan banyak akal.
4.
Latar/Setting :
Rumah Badrowi dan sekitarnnya
5.
Sudut
Pandang :
Orang ketiga serba tahu
C.
Analisis
Struktural Cerpen
1.
Abstraksi
Cerpen ini berkisah tentang seseorang
yang selalu gagal dalam percobaan bunuh dirinya. Badrowi namanya, awalnya ia
adalah seorang Suami dan Ayah yang baik di Keluarganya. Namun semua itu berubah
ketika terjadi pertukaran peran gender antara dia dan Istrinya, hal tersebut
menjadi bahan gunjingan para tetangga sehingga Badrowi tak tahan dan merasa
depresi karenannya. Ia mulai nekat bunuh diri ketika anak ketiganya lahir namun
ia merasa itu bukan anaknya karena bayi itu berwajah tionghoa.
2.
Orientasi
Cerpen ini berorientasi pada kehidupan
rumah tangga Badrowi, Setting yang dominan dalam cerpen ini adalah rumah
Badrowi dengan suasana was-was dan ppenuh kekhawatiran.
3.
Komplikasi
(Penyebab Konflik)
·
Badrowi dan
Keluarga pindah ke Kota Semarang Ketika Istrinya diangkat menjadi seorang PNS.
·
Kepindahannya
itu terpaksa membuat badrowi harus mencari pekerjaan lagi di kota barunya
meskpun di perusahaannya dulu ia sudah mendapatkan posisi yang lumayan.
·
Belum genap
sebulan Badrowi bekerja sang Istri yang sangat dicintainya meminta agar ia
berhenti bekerja karena mengkhawatirkan rumah dan pertumbuhan anak-anak mereka.
·
Badrowi pun
berhenti bekerja ia bahkan dijuluki sebagi bapak teladan karena mampu mengurus
urusan rumah tangga dengan baik dan mampu mengasuh kedua anaknya.
·
Kebahagiaan
badrowi merasa terusik ketika cinta istrinya dirasa tak sama dengan yang dulu
lagi dan Ia mulai mendengar bisik-bisik tetangga bermuka dua yang menyebut ia
Banci dan hanya hidup dari keringat istrinya.
·
Ketika
istrinya melahirkan bayi berwajah tionghoa, semakin limbung dan putus asa lah
hidupnya karena ia merasa bayi yang dilahirkan Istrinya itu bukan anaknya.
4. Evaluasi/Konflik
Badrowi selalu mencoba bunuh diri. Dia pernah mencoba
gantung diri tapi dahan pohon tempat ia bergantung patah. Dia juga pernah menenggak Baygon, tapi syukur
istrinya mengetahui aksinya sehingga badrowi langsung di bawa ke Rumah sakit.
Puncaknya ia berencana lari dari pengawasan keluarga, bi markonah dan rokim
agar dapat bunuh diri dengan cara loncat dari pohon di dekat rumahnya. Namun
saat hendak mengelabuhi para pengawasnya itulah ia malah terpeleset di kamar
mandi, kepalanya berdarah, padahal ia sama sekali tak berniat mati dengan cara
itu, Kecoa yang ada di Kamar mandi dan Darah adalah sesuatu yang sangat
dibencinya.
5.
Resolusi/Penyelesaian
Insiden terpelesetnya Badrowi di Kamar mandi sedikit
membuka mata hati badrowi sehingga ia bisa melihat kasih sayang istrinya yang
begitu tulus. Ia selamat dari maut namun setelah kejadian itu separuh badannya
menjadi lumpuh, ia merasa dalam keadaan tak hidup namun juga tak mati. Ia
menyesal selama ini telah bertindak bodoh dan tak menghiraukan istrinya yang
menangis dan meminta maaf di hadapannya. Dalam hati kecilnya ia ingin sekali
meminta maaf dan memaafkan istrinya namun sayang ia sudah tidak bisa bicara
lagi. Pada akhirnya dia pun sadar tuhan lebih berkuasa atas takdir hidupnya.
6.
Koda/Amanat
Jangan mudah terjebak Amarah sehingga
merasa mampu menggenggam takdir.
BUNUH DIRI
Cerpen Suara Merdeka, 24 Juni
2012 – oleh Kun Himalaya
Toto 2012 /
Suara Merdeka
Badrowi hendak bunuh diri. Sudah berkali-kali
dicobanya. Sekali, hendak diputusnya kontrak kehidupan pada seutas tali.
Sayangnya, dahan yang disangkanya liat tak kuasa menahan tubuhnya. Dahan itu
patah menjadi dua. Lain waktu Badrowi meminum baygon. Ketika cairan mematikan
itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya histeris
dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya menelepon Rumah
Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir ambulans yang
gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai di leher.
Sayang seribu sayang, Dokter terbaik di Rumah Sakit
itu belum pulang meski malam telah larut. Dokter yang berdedikasi itu sekuat
tenaga bernegosiasi dengan Malaikat Izrail memperebutkan nyawa Badrowi. Dokter
itu berhasil. Badrowi muntah-muntah. Semua cairan mematikan itu keluar sudah.
Badrowi harus menerima kenyataan bahwa usahanya belum
membuahkan hasil. Badrowi mulai percaya nyawanya rangkap tujuh layaknya kucing.
Nahasnya, Badrowi jeri melihat darah yang mengucur. Apalagi bila darah itu
keluar dari tubuhnya. Badrowi takut. Maka, tak heran, usaha yang melibatkan
benda tajam yang nyata bisa membuat darahnya mengucur, amat sangat dihindari
oleh Badrowi.
Akhir-akhir ini Badrowi sibuk. Menonton berita
kriminal di televisi dan membaca koran menjadi jadwal rutin. Bukankah selalu
ada berita tentang kehidupan yang berakhir di tayangan televisi dan lembar
koran? Badrowi butuh inspirasi. Badrowi menghitung dalam hati: berapa kali
sudah dicobanya usaha ini? Badrowi menentramkan hati dan tidak berputus asa.
Setidaknya, jika benar keajaiban nyawa rangkap tujuh itu menempel padanya, Badrowi
tinggal mencoba sekali lagi!
Tapi itu kian sulit. Sungguh! Sekarang ini, setiap
orang siaga. Istrinya, anak-anaknya, kerabat istrinya yang bernama Bi Markonah
itu, bahkan para tetangganya. Semuanya waspada. Istrinya sudah tak
mengizinkannya mengendarai sepeda motor. Kuncinya sengaja disimpan rapat-rapat
dan tak seorang pun yang mau memberitahu di mana kunci itu disimpan. Bagi
Badrowi itu memang masuk akal dan bisa dimengerti. Jalanan di Indonesia lebih
kusut daripada benang basah yang ruwet. Semahir apa pun pemakai jalan di
Indonesia, sangat mudah tertimpa kecelakaan. Kalau tidak menabrak ya ditabrak….
Yang membuat Badrowi jengkel, orang-orang tidak
memberinya kesempatan untuk menyendiri. Begitu Badrowi masuk ke kamar mandi,
keluarganya langsung heboh. Bila dalam waktu lima menit Badrowi tidak keluar
dari kamar mandi, mereka menggedor-gedor pintu. Bi Markonah mengancam akan
mendobrak pintu kalau pintunya tidak segera dibuka. Semakin lama mereka seperti
mata-mata!
Cih! Tahu apa mereka? Badrowi memang ingin mati. Tapi,
mati di kamar mandi? Itu sungguh bukan pilihan bagi Badrowi. Kamar mandi itu
tempat tinggal kecoak dan Badrowi benci sekali binatang bernama kecoak.
Badrowi menyadari bahwa kini dia mempunyai dua
tantangan yaitu berusaha melepaskan diri dari intaian mata-mata, dan terus
mancari cara untuk memecat nyawanya agar tak lagi menghuni raga. Badrowi
memutuskan untuk menjadi lebih kreatif. Untuk itu, Badrowi memasukkan menu
menonton sinetron! Banyak sekali tips dan intrik yang bisa Badrowi temukan dalam
tayangan sinetron.
***
HARI masih pagi. Seperti biasa, rumah itu tampak
sibuk. Anaknya yang pertama berteriak-teriak mencari kaus kaki, sebentar
kemudian suaranya bungkam dan terdengar raungan GL-Pro menjauh. Terdengar suara
Bi Markonah menyuruh anak kedua dan ketiganya sarapan. Istrinya, telah rapi
dengan baju PNS, masuk ke kamar dan meletakkan sepiring nasi goreng di atas
meja.
“Dokter Munawir akan datang menengok sampean, nanti
jam 9,” kata istrinya pelan.
“Cih! Psikiater sok tahu itu? Yang menyangka aku sakit
jiwa?! Yang merasa sudah mampu mengorek kebenaran dariku? Ahoi jauh panggang
dari api. Uang saja yang dikejarnya!” umpat Badrowi dalam hati. Badrowi
melarikan pandang keluar jendela. Badrowi enggan menatap istrinya.
“Aku berangkat dulu, ya…,” pamit istrinya sambil
mencium punggung tangannya sekilas.”Jangan lupa nasi gorengnya dimakan….”
Badrowi acuh. Istrinya berlalu dan menutup pintu
pelan. Begitu Supra Fit istrinya menjauhi garasi bersama celoteh riang anak
kedua dan ketiga, Badrowi beringsut ke jendela. “Yah, batu itu masih di sana.
Tangga itu juga masih berada di tempatnya,” batin Badrowi sambil tersenyum
puas. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana! Badrowi akan meluncur bebas
dari atas pohon dan membenturkan diri ke atas batu. Itu rencana hebat!
Badrowi melirik arloji yang tergeletak di atas meja.
Pukul tujuh lima belas menit. Buru-buru Badrowi duduk di tepi tempat tidur.
Diraihnya sepiring nasi goreng yang sedari tadi menghuni meja. Badrowi bersikap
sebiasa mungkin. Jangan membuat curiga! Sebentar lagi, pasti Bi Minah akan
membuka pintu untuk melihat keadaannya. Tidak menghabiskan sarapan, akan
menjadi masalah besar. Nah, benar saja! Pintu kamar terkuak tanpa permisi.
Wajah Bi Markonah yang tampak selalu sedih seperti buldog itu melongok ke dalam
kamar. Sedetik. Kemudian terdengar langkahnya menjauh. Bi Markonah memang tak
terlalu suka bicara pada Badrowi. Begitu juga sebaliknya. Bi Markonah
menganggap Badrowi itu sinting.
Badrowi bersiul-siul. Terdengar pintu depan dibuka dan
ditutup kembali. Bi Markonah akan pergi berbelanja ke pasar. Biasanya Bi
Markonah pergi selama satu jam. Dan selama wanita itu pergi, Rokim, anak
tetangga sebelah yang akan memata-matainya. Badrowi menyibak korden kamar untuk
melihat keluar. Dari ambang jendela, Badrowi melihat Bi Markonah tengah
berbicara kepada Rokim. Bi Markonah menyerahkan selembar uang ke tangan Rokim
yang langsung disambut gembira. Rokim berlari riang menuju ke pintu rumah. Tuh,
kan?
Terdengar pintu dibuka dari luar.
Badrowi segera menyambutnya. “Kamu sebaiknya nonton tv
saja. Hari ini aku akan berbaring di kamar….” usul Badrowi sambil mengulurkan
remote ke tangan Rokim.
Rokim kikuk. Dengan wajah takut-takut Rokim bertanya,
“Maaf, Pak. Sebelum saya menonton televisi seperti yang Bapak suruh, bolehkah
saya masuk ke kamar Bapak terlebih dahulu?”
“Untuk apa?!” bentak Badrowi tidak suka.
“Mm… mencari mainan saya, Pak. Sepertinya tertinggal
di kamar Bapak kemarin…,” Rokim berkata pelan dan sedikit gemetar. Rokim takut
Badrowi akan menyakitinya. Bagaimanapun, Badrowi tega menyakiti dirinya
sendiri. Bukankah besar kemungkinan Badrowi juga setega itu pada orang lain?
“Baiklah. Tapi jangan lama-lama!” Badrowi
bersungut-sungut. Hatinya sungguh tak senang.
Dengan takut-takut Rokim masuk ke kamar Badrowi. Rokim
memeriksa tiap sudut kamar, di bawah tempat tidur, bawah meja dan almari, di
bawah kasur. Semuanya. Tentu saja tidak ada mainan yang dicarinya. Rokim
mencari botol, gelas kaca, pisau atau benda apa saja yang sekiranya
diselundupkan Badrowi untuk melancarkan aksinya. Rokim tidak menemukan sesuatu
yang mencurigakan. Rokim tersenyum puas sambil melangkah keluar kamar.
“Lho, mana mainanmu?” bentak Badrowi.
Rokim plintat plintut. “Oh, saya baru ingat kalau
mainan saya dipinjam teman….”
“Huh, dasar lidah manusia!” umpat Badrowi sambil masuk
ke dalam kamar dan menutup pintunya.
Badrowi mengintip melalui lubang kunci. Aman. Rokim
pergi ke kamar mandi. Hanya sebentar, setelah itu Rokim asyik menonton
televisi. Badrowi hendak menyelinap keluar lewat jendela. Tapi…oh…Badrowi
merasa ingin buang air kecil. “Ah… tak mengapa, ini kan buang air kecil yang
terakhir…,” hibur Badrowi dalam hati.
Ketika Badrowi lewat, Rokim waspada. Rokim melirik jam
dinding untuk memastikan Badrowi tidak terlalu lama di kamar mandi. Pintu kamar
mandi terbuka. Badrowi segera melangkah masuk, tak disadarinya busa sabun
tersebar di lantai. Badrowi terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Aaaaaahhh!!!!” Kepala Badrowi terbentur pinggiran
bak. Darah mengucur. Badrowi jatuh terjerembab. Tubuhnya terlentang di lantai
kamar mandi. Badrowi berusaha menggerakkan kepala, dan terlihat olehnya
beberapa ekor kecoak berlari menjauh. Lantai kamar mandi memerah darah, membawa
Badrowi ke rasa sakit yang menggila hingga gelap menghimpit!
***
AWALNYA, hidup Badrowi sempurna. Istrinya cantik dan
sudah diangkat menjadi PNS. Istrinya seorang guru di sebuah SMP Negeri. Ketika
SK turun dan mengharuskan istrinya pindah ke Kota Semarang, Badrowi rela
meninggalkan pekerjaannya. Padahal saat itu posisi Badrowi di perusahaan itu
sudah terbilang lumayan. Ketika itu, anak pertama mereka baru berusia tiga
tahun. Di kota baru, Badrowi mencari pekerjaan. Namun, belum genap sebulan
Badrowi bekerja, didapatinya sang istri menangis. “Pak, janganlah bekerja dulu.
Rumah dan anak-anak telantar kalau kita berdua bekerja. Biarlah kita hidup dari
gajiku dulu,” bujuk istrinya.
Badrowi amat menyayangi istrinya. Apalagi istrinya
tengah mengandung anak kedua. Badrowi tak sanggup menolak keinginan sang istri.
Maka, Badrowi mengalah dan tinggal di rumah. Badrowi belajar memasak, mencuci,
membereskan rumah, dan mengurus anak. Ketika anak kedua lahir, Badrowi telah
mahir. Segera saja, predikat Bapak Teladan melekat padanya. Para tetangga yang
menjulukinya. Tapi Badrowi tahu pasti tabiat tetangganya. Di depan wajahnya
orang-orang itu memuji, di belakang punggungnya, mereka menyebut Badrowi banci.
Badrowi mulai terusik. Dia merasa menjadi lelaki yang
tidak sempurna. Lelaki yang bukan lelaki. Lelaki yang tak sanggup menafkahi
istri. Lelaki yang seperti benalu, menggantungkan hidup dari gaji istri. Di
dalam rumahnya tidak ada ibu rumah tangga, yang ada adalah dirinya, bapak rumah
tangga!
Hidup Badrowi mulai limbung. Dan hidupnya hancur
ketika didapatinya istrinya berubah. Cinta istrinya tak lagi utuh. Tak lama
berselang, istrinya hamil lagi. Badrowi tak punya bukti, tapi Badrowi tahu
kalau itu bukan benihnya. Akhirnya bayi mungil berwajah Tionghoa itu lahir.
Sejak itulah, Badrowi kehilangan semangat hidup dan memvonis dirinya untuk
mati!
***
BADROWI merasa tubuhnya seringan kapas. Sebentar
kemudian, rasa berat seperti sebongkah batu menghimpit kakinya, terus naik ke
perut dan menghimpit ulu hati. Kepalanya berdenyut hendak meledak. Napasnya
panas. Sesuatu ditangkupkan menutup hidung dan mulutnya. Sejenak rasa sejuk
menerpa, tapi panas gurun dalam sekejap datang kembali.
Badrowi ingin sekali membuka mata, tapi seolah ada
baja yang mengganjal matanya. Bulir-bulir dingin menyusup pori-pori. Seleret
cahaya putih berkelebatan.
“Dia sadar… dia sadar… lihat! Matanya sedikit
terbuka…,” seorang suster tak sadar berteriak.
“Pak… Pak… ini aku! Pak… sadar….” Itu suara istri
Badrowi.
“Ini kuasa Tuhan. Beliau telah empat minggu mengalami
koma, tapi mampu bertahan…,” timpal Dokter yang tergopoh datang.
Di samping tempat tidur rumah sakit, istri Badrowi
menangis tersedu-sedu.
Badrowi mengerjap. Pelan, air matanya mengalir. Semua
yang terjadi ini, sungguh di luar rencana Badrowi. Badrowi memang ingin mati.
Tapi Badrowi sama sekali ingin melakukan usaha untuk mati di kamar mandi.
Badrowi memang ingin mati. Tapi, bukannya setengah mati seperti ini!
Badrowi merasa menjadi pesakitan. Hidupnya mengambang
di antara hidup dan mati. Tubuh Badrowi lumpuh seluruhnya, hanya matanya saja
yang bisa digerakkan. Itu pun hanya membuka, menutup dan melirik. Hidup Badrowi
sepenuhnya bergantung pada peralatan medis.
“Pak… maafkan aku, Pak…,” tangis istrinya pelan.
Dulu, Badrowi hanya membisu bila istrinya berucap
seperti itu. Badrowi mengunci hati. Kata maaf di penjaranya rapat-rapat di
dalam amarah. Dijaganya jangan sampai keluar dari mulutnya. Kini Badrowi ingin
menjawab, namun lidahnya seolah terikat. Badrowi ingin mengatakan kalau hatinya
telah memaafkan! Tapi… Badrowi tak mampu bicara.
Dalam keterasingannya dari dirinya sendiri, Badrowi
terpaksa mengakui bahwa kuasa Tuhan lebih berhasil daripada rencananya. Hatinya
menyalahkannya kenapa dulu tak memaafkan saja ketika istrinya berkali-kali
minta maaf. Dulu hatinya beku ketika istrinya berkali-kali menangis sambil
bersimpuh di kakinya. Kini, keadaan menjadi terbalik. Hati Badrowi telah lunak,
tetapi tubuh dan lidahnya yang kaku. Sekarang, jika nasi telah menjadi bubur
seperti ini, semuanya berduka. Dan hanya setan yang tertawa terpingkal-pingkal.
Menyaksikan kebodohan manusia mudah terjebak amarah dan merasa mampu
menggenggam takdir.
Kun Himalaya adalah nama pena Tri Kundarni, ibu rumah tangga
kelahiran Semarang, 3 Juni 1982, tinggal di Wonolopo Mijen, Semarang.